PEKANBARU, ELITNEWS.COM - Dalam rangkaian perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2025, Riau menjadi tuan rumah Focus Group Discussion (FGD) bertema Perpres No.5 Tahun 2025 dan Optimalisasi Industri Kehutanan serta Kelapa Sawit Berkelanjutan, Sabtu 08 Februari.
Diskusi ini menjadi sorotan karena membahas kebijakan penting yang berdampak luas pada sektor kehutanan dan kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Riau.
FGD ini menghadirkan berbagai tokoh penting, mulai dari pemerintah, akademisi, pengusaha, hingga praktisi media. Marah Sakti Siregar, tokoh pers nasional, bertindak sebagai moderator dan menekankan bahwa Perpres No.5 Tahun 2025 merupakan kebijakan strategis yang bertujuan menertibkan kawasan hutan.
Ia menjelaskan bahwa peraturan ini berada di bawah arahan Menteri Pertahanan dengan Ketua Pelaksana Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
"Kita sedang membahas kebijakan yang berdampak besar pada pengelolaan kawasan hutan dan mencari solusi atas tantangan hukum serta tata kelola yang ada," ujar Marah Sakti.
Ketidakpastian Hukum dan Dampaknya pada Industri Agus Suryoko, Ketua Tim Substansi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup Riau, menyoroti bahwa Perpres No.5 Tahun 2025 merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, namun masih menghadapi tantangan dalam implementasinya.
Salah satu kendala utama adalah ketidakpastian hukum terkait status kawasan hutan, yang sering kali menjadi objek sengketa di pengadilan.
Sementara itu, Sadino, ahli hukum agraria, menegaskan bahwa peraturan daerah harus diperkuat untuk mendukung implementasi Perpres ini. Ia menilai bahwa tanpa regulasi daerah yang jelas, baik kepala daerah maupun pelaku usaha akan terus menghadapi kebingungan dalam mengelola lahan di kawasan hutan.
Ancaman terhadap Industri Sawit Dampak Perpres No.5 Tahun 2025 terhadap industri kelapa sawit juga menjadi perhatian utama dalam diskusi ini. Muller Tampubolon, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Riau, mengungkapkan kekhawatiran bahwa peraturan ini dapat memperburuk ketidakpastian operasional bagi perusahaan sawit.
"Jika implementasi Perpres ini tidak disertai kepastian hukum, banyak perusahaan sawit yang terancam kehilangan lahan mereka, terkena denda administratif, bahkan menghadapi ancaman pidana. Ini bisa berdampak pada stabilitas industri dan ekonomi daerah," jelas Muller.
Lebih jauh, ia menyoroti potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor kelapa sawit jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan solusi bagi pelaku usaha.
Peran Media dalam Mengawal Kebijakan Dalam sesi terakhir, Rajab Ritonga, seorang praktisi media, mengingatkan bahwa pers memiliki peran krusial dalam menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang terkait Perpres No.5 Tahun 2025. Ia menegaskan bahwa wartawan harus bekerja dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, tanpa intervensi kepentingan tertentu.
"Media harus menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah, kepentingan pengusaha, dan kepentingan masyarakat. Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, mereka berhak mengajukan hak jawab atau membawa kasus ini ke Dewan Pers," ujar Rajab.
Kesimpulan: Perpres No.5 Tahun 2025, Harapan atau Ancaman? FGD ini menjadi ajang diskusi penting untuk menemukan keseimbangan antara penegakan hukum, keberlanjutan industri, dan kepentingan lingkungan hidup. Perpres No.5 Tahun 2025 memang bertujuan untuk menata kawasan hutan secara lebih baik, tetapi implementasinya harus memperhitungkan dampaknya terhadap industri sawit dan tenaga kerja.
Dengan adanya diskusi terbuka seperti ini, diharapkan ada solusi konkret yang dapat memastikan kepastian hukum, keberlanjutan usaha, serta perlindungan lingkungan di Riau dan Indonesia secara keseluruhan. ****