Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

FGD HPN 2025 di Riau Bahas Perpres No. 5/2025 dan Konflik Kawasan Hutan

Senin, 10 Februari 2025 | 13:12 WIB Last Updated 2025-02-10T06:12:27Z

 

PEKANBARU, ELITNEWS..COM – Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) 2025 di Pekanbaru, Riau, menyoroti implikasi Perpres No. 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Kehutanan yang dianggap merugikan banyak pihak, terutama masyarakat adat dan sektor perkebunan sawit.



Dalam diskusi yang berlangsung di Hotel Mutiara Merdeka, 8 Februari 2025, ìjhadir sejumlah pakar dan pemangku kepentingan, seperti Dr. Sadino (pakar hukum kehutanan), Agus Haryoko (DLHK Riau), Muller Tampubolon (Ketua APHI Riau), serta Prof. Rajab Ritonga (wartawan senior PWI). Diskusi dipandu oleh wartawan senior Marah Sakti Siregar.


Kritik terhadap Perpres No. 5/2025 Dr. Sadino menegaskan bahwa Perpres ini perlu dikaji ulang karena banyak wilayah yang bukan hutan tiba-tiba dikategorikan sebagai kawasan hutan, menyebabkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan pelaku usaha.


"Misalnya, sudah ada perkampungan dan kebun sawit rakyat, tetapi kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ini akan memicu konflik dan merugikan masyarakat," ujar Dr. Sadino.


Menurutnya, Perpres No. 9/2023 tentang Tata Kelola Perkebunan Sawit belum efektif, terbukti dengan 3,4 juta hektare kawasan hutan Indonesia yang belum memiliki kepastian tata kelola. Bahkan, terdapat 32.000 desa di dalam kawasan hutan yang status hukumnya masih abu-abu.


Perpres ini juga menimbulkan dampak serius, seperti:

1. Ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.

2. Beban biaya tinggi akibat regulasi baru.

3. Gangguan rantai pasokan di industri sawit.

4. Potensi PHK massal di sektor perkebunan.

5. Ancaman pidana bagi masyarakat yang terlanjur mengelola lahan tersebut.


Dampak di Riau Agus Haryoko dari DLHK Riau menyebutkan bahwa dari 5,3 juta hektare kawasan hutan di Riau, sekitar 1,83 juta hektare sudah terbangun, termasuk untuk perkebunan, pertambangan, tambak, dan pemukiman.


Menurutnya, putusan MK No. 45/2011 telah menetapkan bahwa kawasan hutan harus melalui tiga tahapan, yakni penunjukan, pemetaan, dan penetapan oleh Menteri Kehutanan. Namun, dalam praktiknya, banyak lahan yang masih bermasalah.


Sementara itu, Muller Tampubolon menekankan perlunya regulasi yang lebih baik untuk menertibkan kawasan hutan tanpa mengorbankan ekonomi rakyat.


"Jika hutan tidak dilindungi, perambahan ilegal akan semakin marak. Contohnya, Tesso Nilo yang dulunya 200 ribu hektare, kini hanya tersisa 8 ribu hektare. Namun, di sisi lain, banyak lahan yang sudah terlanjur digunakan untuk kebun dan tambang, sehingga butuh solusi yang adil," ujar Muller.


Pers dan peran advokasi Prof. Rajab Ritonga menegaskan bahwa pers harus memainkan peran utama dalam mengawasi regulasi kehutanan serta mengedukasi masyarakat mengenai dampaknya.


"Pers harus menjadi garda terdepan dalam mengawal kebijakan ini agar tidak merugikan masyarakat," ujarnya.


Kesimpulan dan rekomendasi dari FGD ini, para peserta sepakat bahwa Perpres No. 5/2025 perlu direvisi agar lebih berpihak kepada masyarakat dan pelaku usaha. Solusi yang diusulkan antara lain:

1. Pemetaan partisipatif dengan melibatkan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah daerah.

2. Pengakuan hutan adat dan skema perhutanan sosial bagi masyarakat yang sudah lama mengelola lahan.

3. Revisi regulasi kehutanan agar tidak tumpang tindih dengan UU Agraria dan UU Desa.

4. Kebijakan win-win solution bagi masyarakat, perusahaan, dan pelestarian lingkungan.

5. Transparansi dan peran pers dalam mengawal kebijakan kehutanan agar tidak menimbulkan konflik baru.


Dengan banyaknya kawasan hutan yang tidak lagi berhutan, para peserta menekankan pentingnya solusi yang lebih realistis untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak ekonomi yang luas. ****

×
Berita Terbaru Update